Wed, Mar 2nd 2011, 08:36
- “POLITIK adalah seni tentang ketaktertebakan (politic is the art of unpredictibility)”, kata Hannah Arendt. Filsuf Jerman yang banyak menulis tentang sejarah holocaust era Nazi itu melihat bahwa membicarakan politik berarti mengumpulkan kemungkinan dan kemustahilan sekaligus. Karena sifat lenturnya yang tinggi tentu analisis politik berbeda dengan analisis fisika atau matematika, yang terukur dan positivistik. Imajinasi juga masuk di sana.
Meskipun dianggap tak tertebak, ada ruang yang tetap bisa diukur dan ditebak, dan itu terbuka pada kemampuan memaksimalkan tanda-tanda yang tersedia. Ini termasuk menilai secara komprehensif political behaviour, perspektif media, arus elite dan bawah, serta momentum dan seremoni yang memenuhi ruang publik.
Atas dasar itulah saya ingin mencoba menganalisis pilkada gubernur Aceh 2011. Hal yang paling menggelitik adalah menganalisis survei politik yang memunculkan beberapa kandidat yang dapat dipilih dan dapat diterima sebagai gubernur.
Ada tiga survei paling tidak yang telah dibuat. Saya meminggirkan dua survei yang tidak diketahui dengan pasti metodologinya, yaitu survei micropoll blog yang memenangkan Otto Syamsuddin Ishak sebagai calon gubernur paling populer dan Lembaga Penelitian Nusantara (LPN) yang menyebut Muhammad Nazar sebagai calon gubernur. Untuk survei pertama, karena namanya survei dunia maya (virtual), tingkat kenyataannya (faktual) menjadi lemah. Lagi pula berapa persen penduduk Aceh yang menggunakan facebook dan twitter akan ikut memengaruhi nyak-nyak dan abu-abu untuk memilih sesuai keinginannya. Dan yang kedua jelas karena metodologi yang tidak diketahui seperti apa dan belum diketahui maujud lembaganya.
Survei yang ketiga oleh sebuah lembaga survei pemilu, LSI (Lingkaran Survei Indonesia) yang dipimpin oleh Denny JA. Jangan salah, karena ada satu lagi LSI (Lembaga Survei Indonesia) yang dipimpin Saiful Mujani, namun terlihat kurang aktif lagi melakukan survei. Survei ini cukup mahal, konon berbiaya Rp 2 miliar, dan didanai oleh Partai Demokrat Aceh. Survei dilakukan pada Desember 2010 dan pada akhir Januari 2011 telah diketahui hasil analisisnya, namun baru dipublikasi oleh Demokrat Aceh hampir sebulan kemudian. Tentu saja karena hasilnya tidak seperti yang diinginkan oleh Demokrat.
Dari hasil survei dengan jumlah sampling 440 responden untuk seluruh Aceh dengan memperhitungkan sebaran pemilih desa sebanyak 84 persen (data BPS Aceh 2008 penduduk desa sebanyak 79 persen), mereka menjatuhkan pilihannya jika Pilkada dilaksanakan pada hari itu adalah pada Irwandi Yusuf (23,8 persen), jauh meninggalkan calon lain seperti Muhammad Nazar (10,3 persen), Malik Mahmud (4,1 persen), atau Zaini Abdullah (0,8 persen). Ini menunjukkan bahwa tingkat dukungan kepada Irwandi cukup tinggi.
Survei juga membicarakan bahwa jika pilkada dilaksanakan pada 2011 mereka juga memberi pilihan lebih besar kepada Irwandi Yusuf (28,5 persen), Muhammad Nazar (12,2 persen), Tarmizi Karim (7,1 persen), dan Muzakkir Manaf (4,8 persen). Pertanyaannya ke mana persentase suara lainnya?
Ternyata jika pilkada dilaksanakan pada hari ini atau sebelum beberapa calon seperti saat ini mulai mendeklarasikan dirinya, maka 45 persen belum menentukan pilihannya. Jika pilkada dilaksanakan pada Oktober 2011 masih ada 32 persen yang abstain. Intinya yang tidak memilih masih lebih besar dibandingkan dengan kandidat yang paling dipilih. Inilah yang akan menjadi pemilih bergerak dengan persepsi atau disebut swing voters, suara yang bisa berayun ke kandidat yang akan paling ideal menurutnya dipilih untuk gubernur Aceh ke depan hingga menit-menit menjelang pencoblosan. Tingginya soft voters atau pemilih non-ideologis ini menunjukkan bahwa peta politik Aceh tentu tidak seperti 2006, ketika mungkin suara 38 persen Irwandi-Nazar adalah pemilih ideologis atau strong voters.
Ini yang menyebabkan politik pilkada Aceh masih sangat terbuka. Belum ada satu calon pun yang boleh mengklaim sudah pasti memenangkannya. Apalagi ternyata politik survei tidak linear dengan keinginan partai politik yang mengusung calon idaman.
Survei LSI memang merekomendasikan jika Demokrat ingin menang dalam pilkada ke depan, mereka harus mencalonkan Irwandi Yusuf sebagai “Aceh satu”. Ternyata, peta politik juga telah memperlihatkan bahwa partai penguasa (the ruler’s party), Partai Aceh (PA), telah mem-black list Irwandi dan serius mengusung Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf sebagai paket final gubernur-wakil gubernur. Sebagai partai pemenang pemilu, walaupun kadernya tidak begitu populer, mereka memiliki deposito politik lebih besar dibandingkan yang lain. Jelas jalan terjal masih dihadapi oleh PA, termasuk mengupayakan politik citra bagi kandidatnya dan mekanisme bujuk-rayu kompleks lainnya.
Demokrat sendiri menjadi realistis melihat situasi politik saat ini bahwa tidak mungkin mengusung kader politiknya untuk duduk di “Aceh satu”. Mereka cukup puas saja sebagai “Aceh dua” (Serambi Indonesia, 19 Februari). Hasil survei memperlihatkan, bahwa selain Irwandi hanya Muhammad Nazar yang memiliki tingkat keterkenalan dan kesukaan publik yang baik (IY: keterkenalan 81 persen, kesukaan 65,7 persen, MN : keterkenalan 70,2 persen, kesukaan 64,4 persen), maka memilih Nazar adalah sebuah pilihan yang masuk akal untuk bertarung secara kompetitif dengan PA, sebagai kekuatan dominan.
Irwandi sendiri sudah mutung dan tidak akan dipinang oleh Demokrat sebagai calon gubernur. Mungkin pertimbangan bisa macam-macam seperti pengalaman berpolitik, personalitas, dan loyalitasnya. Karena alasan ini pula Irwandi sudah tak mau lama-lama menunggu pinangan dan mendeklarasikan untuk maju melalui jalur independen (Serambi Indonesia, 24 Februari). Namun jangan lupa, ibarat kontes Indonesian Idol, Irwandi menjadi figur yang paling populer karena ia gubernur yang sedang berkuasa atau show time. Hal lain adalah baliho Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang memampang wajahnya ada dimana-mana, termasuk informasi sebagai satu-satunya gubernur yang menggratiskan pengobatan bagi seluruh rakyat, dan berani berkacak pinggang ketika diterima oleh SBY.
Bagaimana dengan Darni Daud, Tarmizi Karim, Mawardi Nurdin, Otto Syamsuddin Ishak, atau bahkan Partai Golkar/PAN/PKS? Mereka bisa saja menjadi kuda hitam yang memberikan kejutan. Ingat jangan pernah remehkan kuda hitam. Di samping lebih tegap dibandingkan kuda putih, pengalaman piala dunia 1990 dan 2002 telah menunjukkan sejarah kontras. Bagaimana kedigdayaan tim pemenang piala dunia edisi sebelumnya, Argentina dan Perancis, dipermalukan oleh tim antah-berantah, Kamerun dan Senegal, di pertandingan pembuka.
Dan jangan kecil hati bagi calon yang belum disebut namanya, karena pilkada masih lama, dan masih bisa menabung politik demi pesta rakyat yang diperkirakan akan digelar akhir tahun ini. Belum lagi calon gubernur perempuan yang belum lagi kelihatan gaunnya. Masih malu-malu antara mau maju sendiri sebagai calon gubernur, wakil gubernur, atau cukup bermimpi jadi istri calon gubernur.
Namun tak ada salah menginvestasi politik sejak dini. Investasi politik yang paling baik tentu bukan spanduk, baliho, sekarung beras, atau sekilo gula. Investasi politik yang paling benar adalah dedikasi untuk memajukan Aceh dengan pikiran, tenaga, intelektualitas, dan keberanian, lebih besar dari apapun. Berani mencoba?
* Penulis adalah antropolog.
Meskipun dianggap tak tertebak, ada ruang yang tetap bisa diukur dan ditebak, dan itu terbuka pada kemampuan memaksimalkan tanda-tanda yang tersedia. Ini termasuk menilai secara komprehensif political behaviour, perspektif media, arus elite dan bawah, serta momentum dan seremoni yang memenuhi ruang publik.
Atas dasar itulah saya ingin mencoba menganalisis pilkada gubernur Aceh 2011. Hal yang paling menggelitik adalah menganalisis survei politik yang memunculkan beberapa kandidat yang dapat dipilih dan dapat diterima sebagai gubernur.
Ada tiga survei paling tidak yang telah dibuat. Saya meminggirkan dua survei yang tidak diketahui dengan pasti metodologinya, yaitu survei micropoll blog yang memenangkan Otto Syamsuddin Ishak sebagai calon gubernur paling populer dan Lembaga Penelitian Nusantara (LPN) yang menyebut Muhammad Nazar sebagai calon gubernur. Untuk survei pertama, karena namanya survei dunia maya (virtual), tingkat kenyataannya (faktual) menjadi lemah. Lagi pula berapa persen penduduk Aceh yang menggunakan facebook dan twitter akan ikut memengaruhi nyak-nyak dan abu-abu untuk memilih sesuai keinginannya. Dan yang kedua jelas karena metodologi yang tidak diketahui seperti apa dan belum diketahui maujud lembaganya.
Survei yang ketiga oleh sebuah lembaga survei pemilu, LSI (Lingkaran Survei Indonesia) yang dipimpin oleh Denny JA. Jangan salah, karena ada satu lagi LSI (Lembaga Survei Indonesia) yang dipimpin Saiful Mujani, namun terlihat kurang aktif lagi melakukan survei. Survei ini cukup mahal, konon berbiaya Rp 2 miliar, dan didanai oleh Partai Demokrat Aceh. Survei dilakukan pada Desember 2010 dan pada akhir Januari 2011 telah diketahui hasil analisisnya, namun baru dipublikasi oleh Demokrat Aceh hampir sebulan kemudian. Tentu saja karena hasilnya tidak seperti yang diinginkan oleh Demokrat.
Dari hasil survei dengan jumlah sampling 440 responden untuk seluruh Aceh dengan memperhitungkan sebaran pemilih desa sebanyak 84 persen (data BPS Aceh 2008 penduduk desa sebanyak 79 persen), mereka menjatuhkan pilihannya jika Pilkada dilaksanakan pada hari itu adalah pada Irwandi Yusuf (23,8 persen), jauh meninggalkan calon lain seperti Muhammad Nazar (10,3 persen), Malik Mahmud (4,1 persen), atau Zaini Abdullah (0,8 persen). Ini menunjukkan bahwa tingkat dukungan kepada Irwandi cukup tinggi.
Survei juga membicarakan bahwa jika pilkada dilaksanakan pada 2011 mereka juga memberi pilihan lebih besar kepada Irwandi Yusuf (28,5 persen), Muhammad Nazar (12,2 persen), Tarmizi Karim (7,1 persen), dan Muzakkir Manaf (4,8 persen). Pertanyaannya ke mana persentase suara lainnya?
Ternyata jika pilkada dilaksanakan pada hari ini atau sebelum beberapa calon seperti saat ini mulai mendeklarasikan dirinya, maka 45 persen belum menentukan pilihannya. Jika pilkada dilaksanakan pada Oktober 2011 masih ada 32 persen yang abstain. Intinya yang tidak memilih masih lebih besar dibandingkan dengan kandidat yang paling dipilih. Inilah yang akan menjadi pemilih bergerak dengan persepsi atau disebut swing voters, suara yang bisa berayun ke kandidat yang akan paling ideal menurutnya dipilih untuk gubernur Aceh ke depan hingga menit-menit menjelang pencoblosan. Tingginya soft voters atau pemilih non-ideologis ini menunjukkan bahwa peta politik Aceh tentu tidak seperti 2006, ketika mungkin suara 38 persen Irwandi-Nazar adalah pemilih ideologis atau strong voters.
Ini yang menyebabkan politik pilkada Aceh masih sangat terbuka. Belum ada satu calon pun yang boleh mengklaim sudah pasti memenangkannya. Apalagi ternyata politik survei tidak linear dengan keinginan partai politik yang mengusung calon idaman.
Survei LSI memang merekomendasikan jika Demokrat ingin menang dalam pilkada ke depan, mereka harus mencalonkan Irwandi Yusuf sebagai “Aceh satu”. Ternyata, peta politik juga telah memperlihatkan bahwa partai penguasa (the ruler’s party), Partai Aceh (PA), telah mem-black list Irwandi dan serius mengusung Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf sebagai paket final gubernur-wakil gubernur. Sebagai partai pemenang pemilu, walaupun kadernya tidak begitu populer, mereka memiliki deposito politik lebih besar dibandingkan yang lain. Jelas jalan terjal masih dihadapi oleh PA, termasuk mengupayakan politik citra bagi kandidatnya dan mekanisme bujuk-rayu kompleks lainnya.
Demokrat sendiri menjadi realistis melihat situasi politik saat ini bahwa tidak mungkin mengusung kader politiknya untuk duduk di “Aceh satu”. Mereka cukup puas saja sebagai “Aceh dua” (Serambi Indonesia, 19 Februari). Hasil survei memperlihatkan, bahwa selain Irwandi hanya Muhammad Nazar yang memiliki tingkat keterkenalan dan kesukaan publik yang baik (IY: keterkenalan 81 persen, kesukaan 65,7 persen, MN : keterkenalan 70,2 persen, kesukaan 64,4 persen), maka memilih Nazar adalah sebuah pilihan yang masuk akal untuk bertarung secara kompetitif dengan PA, sebagai kekuatan dominan.
Irwandi sendiri sudah mutung dan tidak akan dipinang oleh Demokrat sebagai calon gubernur. Mungkin pertimbangan bisa macam-macam seperti pengalaman berpolitik, personalitas, dan loyalitasnya. Karena alasan ini pula Irwandi sudah tak mau lama-lama menunggu pinangan dan mendeklarasikan untuk maju melalui jalur independen (Serambi Indonesia, 24 Februari). Namun jangan lupa, ibarat kontes Indonesian Idol, Irwandi menjadi figur yang paling populer karena ia gubernur yang sedang berkuasa atau show time. Hal lain adalah baliho Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang memampang wajahnya ada dimana-mana, termasuk informasi sebagai satu-satunya gubernur yang menggratiskan pengobatan bagi seluruh rakyat, dan berani berkacak pinggang ketika diterima oleh SBY.
Bagaimana dengan Darni Daud, Tarmizi Karim, Mawardi Nurdin, Otto Syamsuddin Ishak, atau bahkan Partai Golkar/PAN/PKS? Mereka bisa saja menjadi kuda hitam yang memberikan kejutan. Ingat jangan pernah remehkan kuda hitam. Di samping lebih tegap dibandingkan kuda putih, pengalaman piala dunia 1990 dan 2002 telah menunjukkan sejarah kontras. Bagaimana kedigdayaan tim pemenang piala dunia edisi sebelumnya, Argentina dan Perancis, dipermalukan oleh tim antah-berantah, Kamerun dan Senegal, di pertandingan pembuka.
Dan jangan kecil hati bagi calon yang belum disebut namanya, karena pilkada masih lama, dan masih bisa menabung politik demi pesta rakyat yang diperkirakan akan digelar akhir tahun ini. Belum lagi calon gubernur perempuan yang belum lagi kelihatan gaunnya. Masih malu-malu antara mau maju sendiri sebagai calon gubernur, wakil gubernur, atau cukup bermimpi jadi istri calon gubernur.
Namun tak ada salah menginvestasi politik sejak dini. Investasi politik yang paling baik tentu bukan spanduk, baliho, sekarung beras, atau sekilo gula. Investasi politik yang paling benar adalah dedikasi untuk memajukan Aceh dengan pikiran, tenaga, intelektualitas, dan keberanian, lebih besar dari apapun. Berani mencoba?
* Penulis adalah antropolog.
didunia politik,1+1 bisa jadi berapa saja, tergantung kemauan politik.
BalasHapus