Sun, Apr 11th 2010, 08:14
Universitas Meunasah
- MEUNASAH sebagai universitas dalam budaya Aceh, kata Sulaiman Tripa yang meluncurkan buku sambil merayakan ulang tahun ke 34, Jumat (2/4) lalu. Saya kagum. Bukan karena aktivitas menulisnya sangat produktif, tapi banyak karya-karya yang sudah jadi buku memuat kearifan-kearifan Aceh yang selama ini justru kurang jadi perhatian kaum akademisi kita.
Dalam bukunya, Sulaiman menyebut meunasah dalam tiga dimensi; yaitu hubungan manusia dengan Tuhan-nya (hablumminallah), hubungan manusia dengan manusia lainnya (hablumminannas), dan interaksi dalam sebuah lingkungan. Nah di sinilah, luputnya kita selama atas pemahaman ini. Padahal sejak dulu, meunasah telah menjadi wadah untuk menjalin hubungan ke atas (rabbi) dan ke bawah (insani) telah terpatri dalam kesadaran orang Aceh.
Hanya meunasah model itu yang membuat sejarah. Dan Sulaiman yang sehari jadi guru di Fakultas Hukum Unsyiah, kembali mengangkat untuk menghidupkan ruh meunasah yang paling fundamental itu.
Sejarah budaya Aceh, mencatat pendidikan awal anak anak dimulai di tingkat meunasah yang berasal dari kata madrasah(Ismuha:1978). Dalam tradisi budaya masyarakat Aceh meunasah selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga menjadi sekolah, tempat berdiskusi, pengajian dan belajar Alquran. Jika Nah, sekarang di Aceh terdapat 6.000 lebih perkampungan maka terdapat 6.000 lebih. Andai itu difungsikan maka sungguh hebat bagi kehidupan agama, sosial dan budaya (Sulaiman Tripa: 2010).
Mungkin meunasah telah berfungsi seperti yang diharapkan? Apakah di antara 6.000 meunasah itu, ada yang sudah beralih fungsi sebagai tempat menghisap ganja, kandang kambing atau sapi di waktu malam, dan tempat untuk melakukan adu domba atau saling fitnah. Agaknya pertanyaan Sulaiman itu perlu ditelisik lebih dalam
Memang kalau kita menguak Qanun al Asyi (UUD kerajaan Aceh) disyaratkan pada tiap-tiap kampung didirikan satu meunasah. Dalam sistem masyarakat Aceh, untuk mengelola meunasah diangkat seorang keuchik dan seorang wakilnya, empat tuha peut, dan satu orang imuem rawatib. Maka perkerjaan sekalian mareka itu yang tersebut, yaitu mengerjakan amar makruf nahi mungkar, dan mengurus hal rakyat dengan adil, apa apa yang telah makruf dan uruf pada tempatnya masing masing atas pekerjaan yang kebajikan.(A.Hasymy:1995).
Bahkan disebutkan bahwa para pengawal agama Aceh pada lapis akar umbi ini mendapat penghasilan sebagai jerih payah mereka. Namun sekarang semua tentu tidak akan persis seperti dulu. Di Aceh dulunya Sekolah dasar bagi seluruh rakyat dipusatkan di Meunasah yang dipimpin oleh teungku meunasah. Pelajaran yang diajarkan di meunasah biasanya yang berkenaan dengan fardhu ain, seperti cara baca Alquran, cara shalat, akhlak dan lain-lain.
Meunasah televisi
Selesai di meunasah sekolah lanjutan berada di masjid di tingkat kemukiman yang diajarkan tajwid dan hukum-hukum dasar Islam yang telah ditulis oleh ulama-ulama Aceh dalam bahasa Jawi. Dalam tradisi masyarakat Aceh ada laqab “malem jawoe”. Selesai dua pendidikan tersebut dilanjutkan ke dayah-dayah yang didirikan oleh ulama ulama yang luas pengetahuan. Di sinilah murid atau santri berdatangan dari berbagai penjuru negeri Aceh baik di Sumatra maupun Semenanjung Tanah Melayu (Ismuha:1978). Dalam tradisi Aceh perilaku ini dikenal dengan istilah meudagang.
Membangun meunasah berbeda dengan cara mendirikan rumah yang membujur timur barat. Meunasah harus membujur utara selatan sekaligus kita mengetahui ke mana arah kiblat salat. Sehingga para tamu yang berdatangan ke suatu kampung langsung dapat membedakan rumah dengan meunasah. Di samping sebagai tempat pendidikan dasar dan kegiatan keagamaan, meunasah berfungsi sebagai tempat tidur anak muda yang belum kawin, dan duda.
Sekarang fungsi meunasah sudah mulai sepi.. Ada pergeseran nilai generasi sekarang dalam melihat meunasah bukan lagi sebagai pusat kebudayaan dan keagamaan di kampung-kampung. Walaupun kondisi fisik meunasah sudah bertembok semen dan berlantai marmar, bukan lagi kayu seperti dulu, tetapi ruhnya sudah mulai hilang.
Sungguh, meunasah merupakan potensi sebagai saluran untuk membina umat yang akhirnya mempengaruhi perubahan sosial dalam konteks kesadaran penuh. Sekarang meunasah ramai bukan pada salat wajib, tapi tempat bagi-bagi bantuan. Atau hanya ramai ketika musim pemilu, atau jika ada makan kenduri maulid, selanjutnya meunsah kembali senyap dan sepi.
Kenapa? Karena meunsah “orang Aceh” masa kini adalah keude kupi plus televisi. Semua ikut anjuran televise, makan sambil nonton bahkan dengan azan pun di televise. Mungkin Sulaiman perlu melakukan penelitian ulang soal ini. Jika tidak, boleh jadi meunsah hanya tinggal sejarah romantisme masa lalu. Entahlah!
* Penulis M .Adli Abdullah, Dosen Fakultas Hukum Unsyiah.
Dalam bukunya, Sulaiman menyebut meunasah dalam tiga dimensi; yaitu hubungan manusia dengan Tuhan-nya (hablumminallah), hubungan manusia dengan manusia lainnya (hablumminannas), dan interaksi dalam sebuah lingkungan. Nah di sinilah, luputnya kita selama atas pemahaman ini. Padahal sejak dulu, meunasah telah menjadi wadah untuk menjalin hubungan ke atas (rabbi) dan ke bawah (insani) telah terpatri dalam kesadaran orang Aceh.
Hanya meunasah model itu yang membuat sejarah. Dan Sulaiman yang sehari jadi guru di Fakultas Hukum Unsyiah, kembali mengangkat untuk menghidupkan ruh meunasah yang paling fundamental itu.
Sejarah budaya Aceh, mencatat pendidikan awal anak anak dimulai di tingkat meunasah yang berasal dari kata madrasah(Ismuha:1978). Dalam tradisi budaya masyarakat Aceh meunasah selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga menjadi sekolah, tempat berdiskusi, pengajian dan belajar Alquran. Jika Nah, sekarang di Aceh terdapat 6.000 lebih perkampungan maka terdapat 6.000 lebih. Andai itu difungsikan maka sungguh hebat bagi kehidupan agama, sosial dan budaya (Sulaiman Tripa: 2010).
Mungkin meunasah telah berfungsi seperti yang diharapkan? Apakah di antara 6.000 meunasah itu, ada yang sudah beralih fungsi sebagai tempat menghisap ganja, kandang kambing atau sapi di waktu malam, dan tempat untuk melakukan adu domba atau saling fitnah. Agaknya pertanyaan Sulaiman itu perlu ditelisik lebih dalam
Memang kalau kita menguak Qanun al Asyi (UUD kerajaan Aceh) disyaratkan pada tiap-tiap kampung didirikan satu meunasah. Dalam sistem masyarakat Aceh, untuk mengelola meunasah diangkat seorang keuchik dan seorang wakilnya, empat tuha peut, dan satu orang imuem rawatib. Maka perkerjaan sekalian mareka itu yang tersebut, yaitu mengerjakan amar makruf nahi mungkar, dan mengurus hal rakyat dengan adil, apa apa yang telah makruf dan uruf pada tempatnya masing masing atas pekerjaan yang kebajikan.(A.Hasymy:1995).
Bahkan disebutkan bahwa para pengawal agama Aceh pada lapis akar umbi ini mendapat penghasilan sebagai jerih payah mereka. Namun sekarang semua tentu tidak akan persis seperti dulu. Di Aceh dulunya Sekolah dasar bagi seluruh rakyat dipusatkan di Meunasah yang dipimpin oleh teungku meunasah. Pelajaran yang diajarkan di meunasah biasanya yang berkenaan dengan fardhu ain, seperti cara baca Alquran, cara shalat, akhlak dan lain-lain.
Meunasah televisi
Selesai di meunasah sekolah lanjutan berada di masjid di tingkat kemukiman yang diajarkan tajwid dan hukum-hukum dasar Islam yang telah ditulis oleh ulama-ulama Aceh dalam bahasa Jawi. Dalam tradisi masyarakat Aceh ada laqab “malem jawoe”. Selesai dua pendidikan tersebut dilanjutkan ke dayah-dayah yang didirikan oleh ulama ulama yang luas pengetahuan. Di sinilah murid atau santri berdatangan dari berbagai penjuru negeri Aceh baik di Sumatra maupun Semenanjung Tanah Melayu (Ismuha:1978). Dalam tradisi Aceh perilaku ini dikenal dengan istilah meudagang.
Membangun meunasah berbeda dengan cara mendirikan rumah yang membujur timur barat. Meunasah harus membujur utara selatan sekaligus kita mengetahui ke mana arah kiblat salat. Sehingga para tamu yang berdatangan ke suatu kampung langsung dapat membedakan rumah dengan meunasah. Di samping sebagai tempat pendidikan dasar dan kegiatan keagamaan, meunasah berfungsi sebagai tempat tidur anak muda yang belum kawin, dan duda.
Sekarang fungsi meunasah sudah mulai sepi.. Ada pergeseran nilai generasi sekarang dalam melihat meunasah bukan lagi sebagai pusat kebudayaan dan keagamaan di kampung-kampung. Walaupun kondisi fisik meunasah sudah bertembok semen dan berlantai marmar, bukan lagi kayu seperti dulu, tetapi ruhnya sudah mulai hilang.
Sungguh, meunasah merupakan potensi sebagai saluran untuk membina umat yang akhirnya mempengaruhi perubahan sosial dalam konteks kesadaran penuh. Sekarang meunasah ramai bukan pada salat wajib, tapi tempat bagi-bagi bantuan. Atau hanya ramai ketika musim pemilu, atau jika ada makan kenduri maulid, selanjutnya meunsah kembali senyap dan sepi.
Kenapa? Karena meunsah “orang Aceh” masa kini adalah keude kupi plus televisi. Semua ikut anjuran televise, makan sambil nonton bahkan dengan azan pun di televise. Mungkin Sulaiman perlu melakukan penelitian ulang soal ini. Jika tidak, boleh jadi meunsah hanya tinggal sejarah romantisme masa lalu. Entahlah!
* Penulis M .Adli Abdullah, Dosen Fakultas Hukum Unsyiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar