Sun, Nov 15th 2009, 09:46
Sepuluh Paloe dalam Tradisi Aceh (Peringatan Dini, bagian akhir...)
Oleh Dr. Hasballah Sa’ad
Sepuluh Paloe, suatu catatan mengenai pantang-larang yang harus dihindari oleh kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat Aceh (tempo doeloe). Peringatan social dini masih relevan dengan konteks kehidupan kita sekarang ini. Maka penting diulas ulang, dikaji, dan dimaknai, direvitalisasi dan direaktualisasi makna bagi kelompok masyarakat pendukung kebudayaan Aceh. Seperti diuraikan terdahulu, misal hadih maja tentang palaoe raja (penguasa) yang karena memberi kepercayaan kepada siapa saja tanpa seleksi yang ketat dan proporsional. Acapkali, karena orang kepercayaannya-lah yang sesekali bertugas menjadi pembisik yang penuh dengan kepentingan pribadinya. Boleh jadi kasus demikian itu akan berakhir pada malapetaka kepada pemberi kepercayaan, baik berupa berurusan dengan aparat penegak hukum atau dipermalukan publik, karena kebijakan yang diambil menjadi bias dan salah. Banyak contoh demikian yang bisa kita temui dalam praktek menjalankan roda pemerintahan di Aceh dewasa ini. Kearifan lokal Aceh berfungsi sebagai pranata social untuk jadii rujukan masyarakat, atau sebagai peringatan sosial dini (social early warning system). Supaya kelompok penguasa, atau mereka yang memiliki otoritas tercegah dari kekeliruan dan kesalahan.
Ada hadih maja yang mengungkap paloe rakyat. Mengingatkan jika rakyat senang dengan pergunjingan atau berita yang lebih banyak berisi fitnah dan bukan suara kebenaran yang mewakili kepentungan rakyat lemah dan ng tidak memiliki saluran bicara Intrik politik, pergunjingan kotor, fitnah dan rumor, atau info-taiment yang tidak mendidik dapat dijadikan contoh meu-upat (ngerumpi) dalam idioms tersebut. Contoh lain adalah menyangkut kerja kelompok strategis lainnya seperti ulama, teungku dan Abu (pimpinan masyarakat) yang merupakan lambang keterdidikan dan intelektualitas suatu masyarakat tertentu. Seyogianya, tiga kelompok strategis ini yang merupakan tonggak penting dalam sistem kehidupan kemasyarakatan di Aceh, tidak tergoda dengan kerja-kerja pragmatis seperti membawa proposal kesana-kemari, atau menjual doa dengan istighasah aau zikir yang ber-honor, atau memberi surat dukungan dengan mengharap imbalan dari tokoh yang akan mencalonkan diri untuk jabatan tertentu.
Ungkapan sinis yang sebetulnya tidak boleh muncul dan bersifat menyindir kepada kelomok yang paling dihormati dalam masyarakat Aceh yaitu teungku atau Abu atau ulama, pernah muncul, dalam hadih maja: //Ulama ji lee pujuet-pujuet/ Dawok geu kaluet dalam guha/ Ulama jinoe tumbon-tumbon/ Dawok geu ek-tren bak rinyeuen raja// ( Ulama dahulu kurus pucat/ Sibuk berkhalwat sambil berdoa/ Ulama sekarang banyak yang subur (gemuk)/ Sibuk menyusur tangga istana). Ungkapan sinis itu seyogianya tidak perlu muncul dan dapat mendeskreditkan peran dan posisi ulama secara keseluruhan. Padahal fenomena itu hanya terjadi pada segelintir orang yang digeneralisasikan kepada kelompok ulama. Maka ini harus dibaca sebagai bagian dari peringatan sosial dini, agar hal yang dikhawatirkan itu dapat dihindari dan dicegah sedini mungkin oleh para Abu, teungku dan ulama kita. Dasar penilaian negative itu, dapat dipahami manakala terdapat sejumlah “pemimpin spiritual umat” telah meninggalkan tugas pokok, lalu tergoda dengan kehidupan duniawi, dan terjebak dalam kerja pragmatis yang mengakibatkan lembaga dan jama’ah nya terabaikan.
Begitu juga dengan ungkapan paloe tentara (baca aparat keamanan) yang berperilaku buruk, yakni menyengsarakan rakyat. Dalam ungkapan itu teumapa (menempeleng) merupakan tindakan tidak mendidik dan tidak terpuji, apalagi dilakukan terhadap rakyat yang merupakan pemegang mandat negara dan pemilik republik ini. Oleh karena itu, jika tentara mau dicintai rakyat, dan menyatu dengan rakyat, maka perilaku tidak terpuji (teumapa) harus dihindari. Peringatan sosial dini (social early warning system) untuk tentera ini perlu untuk mengingatakan agar berhati hati dan mampu menjaga citra diri dan korpsnya. Dengan demikian tentera sebagai tulang punggung pertahanan negara yang penting, akan selalu dicintai dan melekat dengan mesra di hati rakyat. Terorisme, sparatisme, dan gerakan-gerakan illegal lainnya, tidak memerlukan upaya pemberantasan dengan menghabiskan banyak tenaga dan biaya. Semailah cinta dalam hati rakyat, agar rakyat selalu siap sedia bersama dan membantu tentera (juga polisi) manakala menghadapi tugas-tugas negara yang berat dan sulit. Demikianlah kira-kira pesan dari ungkapan paloe tentara itu.
Paloe peureute (baca: partai politik lokal dan nasional) telah menjadi contoh paling aktual di hadapan mata kita. Jika peringatan sosial dini yang berasal dari masyarakat Aceh tradisional, diperhatian sungguh sungguh, maka banyak partai politik di Aceh tidak perlu menderita kekalahan yang fatal baik dalam pemilihan umum legislatif, maupun pemilihan presiden yang lalu. Dalam konteks Aceh, pernah terjadi pecat memecat di antara pimpinan sebuah partai yang pernah berjasa di Jakarta, dan berakibat terjungkirnya tokoh tertentu dari tampuk pimpinan partai itu dan kehilangan kekuatan dalam pemilihan umum yang dilalui. Barangkali ada prinsip yang harus ditegakkan, namun pilihan tindak yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam kepemiminan partai (sebetulnya bisa dihindari) adalah akibat dari kurang memperhatikan larangan : dowok meupake sabe keu droe-droe itu. Jika peringatan sosial dini itu diperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk menghindari paloe peureute, dawok meupake sabe keu droe-droe, barangkali banyak hal buruk yang bisa dicegah dan tidak perlu membayar mahal dengan hancurnya citra dan keutuhan partai itu.
Di kalangan pemuda jika melupakan sepuluh paloe itu, mereka cenderung terbelah. Sesama eksponen muda, mulai ramai bertengkar sesama sendiri (dowok meupake sabe keu droe-droe). Contoh paling aktual adalah polarisasi kekuatan organisasi pemuda Islam seperti PII dan HMI (maaf), yang karena beda pemahaman dan sikap terhadap Pancasila (waktu Orde Baru) dan interest pribadi segelintir orang yang mau memaksakan kehendak, maka lahirlah kelompok penyelamat ideologi, kelompok konvensional, kelompok anti azas tunggal dsb, yang berujung pada hancurnya kiprah pemuda Islam secara umum, dalam kancah politik nasional dan lokal. Dualisme kepemimpinan Kahmi dan boleh jadi dalam kadar tertentu KB-PII sebagai misal, adalah konsekuensi logis dari pecahnya para pemuda yang menjadi cikal bakal pengurus Kahmi dan KB PII dikemudian hari. Di kalangan inong (perempuan) kecenderungan mempertanyakan sesuatu kepada suami pada saat yang tidak tepat, acapkali menimbulkan pertengkaran yang tidak perlu terjadi. Seperti hadih maja, “poloe inong ji teumanyeng watee woe lakoe”. Ketika akhir bulan atau suami sedang mengalami masalah, jangan pula ditambah dan diberondong dengan pertanyaan yang menyudi dan menyudutkan. Keangkuhan kelelakian (buruknya laki-laki) akan muncul dan sering berakibat buruk. Maka, jikapun ada yang perlu dibahas dan dipertanyakan sebagai bagian dari dinamika hubungan suami-isteri, hendaknya dipilih waktu dan tempat serta situasi yang kondusi untuk hal yang demikian.
Memperhatikan idioms, hadih maja Aceh, atau ungkapan simbol yang berasal dari kearifan lokal (local wisdom) itu terlihat masih relevan untuk dijadikan referensi bersikap dan bertindak dalam banyak hal. Kelompok strategis masyarakat, seperti raja, ulama, guru, tenetara, inong, partai, pemuda dll, adalah pemegang peran utama dalam suatu masyarakat.Perlu diingatkan kembali agar tidak jatuh ke dalam paloe, yang pada gilirannya dapat terjatuh kedalam paleh (jahat-celaka). Dalam masyarakat Aceh tradisional, kearifan itu pernah hidup. Di sinilah peranan Majelis Adat, Institusi dan Otoritas Pendidikan, Otoritas Kebudayaan, Organisasi para Ulama, dan para cerdik cendekia utamanya pemuka adat dan budayawan perlu melihat kembali sumber-sumber dan mengfungsikan kembali.
Penulis; Plt. Rektor Jabal Ghafur, dosen senior pada FKIP Unsyiah.
Ada hadih maja yang mengungkap paloe rakyat. Mengingatkan jika rakyat senang dengan pergunjingan atau berita yang lebih banyak berisi fitnah dan bukan suara kebenaran yang mewakili kepentungan rakyat lemah dan ng tidak memiliki saluran bicara Intrik politik, pergunjingan kotor, fitnah dan rumor, atau info-taiment yang tidak mendidik dapat dijadikan contoh meu-upat (ngerumpi) dalam idioms tersebut. Contoh lain adalah menyangkut kerja kelompok strategis lainnya seperti ulama, teungku dan Abu (pimpinan masyarakat) yang merupakan lambang keterdidikan dan intelektualitas suatu masyarakat tertentu. Seyogianya, tiga kelompok strategis ini yang merupakan tonggak penting dalam sistem kehidupan kemasyarakatan di Aceh, tidak tergoda dengan kerja-kerja pragmatis seperti membawa proposal kesana-kemari, atau menjual doa dengan istighasah aau zikir yang ber-honor, atau memberi surat dukungan dengan mengharap imbalan dari tokoh yang akan mencalonkan diri untuk jabatan tertentu.
Ungkapan sinis yang sebetulnya tidak boleh muncul dan bersifat menyindir kepada kelomok yang paling dihormati dalam masyarakat Aceh yaitu teungku atau Abu atau ulama, pernah muncul, dalam hadih maja: //Ulama ji lee pujuet-pujuet/ Dawok geu kaluet dalam guha/ Ulama jinoe tumbon-tumbon/ Dawok geu ek-tren bak rinyeuen raja// ( Ulama dahulu kurus pucat/ Sibuk berkhalwat sambil berdoa/ Ulama sekarang banyak yang subur (gemuk)/ Sibuk menyusur tangga istana). Ungkapan sinis itu seyogianya tidak perlu muncul dan dapat mendeskreditkan peran dan posisi ulama secara keseluruhan. Padahal fenomena itu hanya terjadi pada segelintir orang yang digeneralisasikan kepada kelompok ulama. Maka ini harus dibaca sebagai bagian dari peringatan sosial dini, agar hal yang dikhawatirkan itu dapat dihindari dan dicegah sedini mungkin oleh para Abu, teungku dan ulama kita. Dasar penilaian negative itu, dapat dipahami manakala terdapat sejumlah “pemimpin spiritual umat” telah meninggalkan tugas pokok, lalu tergoda dengan kehidupan duniawi, dan terjebak dalam kerja pragmatis yang mengakibatkan lembaga dan jama’ah nya terabaikan.
Begitu juga dengan ungkapan paloe tentara (baca aparat keamanan) yang berperilaku buruk, yakni menyengsarakan rakyat. Dalam ungkapan itu teumapa (menempeleng) merupakan tindakan tidak mendidik dan tidak terpuji, apalagi dilakukan terhadap rakyat yang merupakan pemegang mandat negara dan pemilik republik ini. Oleh karena itu, jika tentara mau dicintai rakyat, dan menyatu dengan rakyat, maka perilaku tidak terpuji (teumapa) harus dihindari. Peringatan sosial dini (social early warning system) untuk tentera ini perlu untuk mengingatakan agar berhati hati dan mampu menjaga citra diri dan korpsnya. Dengan demikian tentera sebagai tulang punggung pertahanan negara yang penting, akan selalu dicintai dan melekat dengan mesra di hati rakyat. Terorisme, sparatisme, dan gerakan-gerakan illegal lainnya, tidak memerlukan upaya pemberantasan dengan menghabiskan banyak tenaga dan biaya. Semailah cinta dalam hati rakyat, agar rakyat selalu siap sedia bersama dan membantu tentera (juga polisi) manakala menghadapi tugas-tugas negara yang berat dan sulit. Demikianlah kira-kira pesan dari ungkapan paloe tentara itu.
Paloe peureute (baca: partai politik lokal dan nasional) telah menjadi contoh paling aktual di hadapan mata kita. Jika peringatan sosial dini yang berasal dari masyarakat Aceh tradisional, diperhatian sungguh sungguh, maka banyak partai politik di Aceh tidak perlu menderita kekalahan yang fatal baik dalam pemilihan umum legislatif, maupun pemilihan presiden yang lalu. Dalam konteks Aceh, pernah terjadi pecat memecat di antara pimpinan sebuah partai yang pernah berjasa di Jakarta, dan berakibat terjungkirnya tokoh tertentu dari tampuk pimpinan partai itu dan kehilangan kekuatan dalam pemilihan umum yang dilalui. Barangkali ada prinsip yang harus ditegakkan, namun pilihan tindak yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam kepemiminan partai (sebetulnya bisa dihindari) adalah akibat dari kurang memperhatikan larangan : dowok meupake sabe keu droe-droe itu. Jika peringatan sosial dini itu diperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk menghindari paloe peureute, dawok meupake sabe keu droe-droe, barangkali banyak hal buruk yang bisa dicegah dan tidak perlu membayar mahal dengan hancurnya citra dan keutuhan partai itu.
Di kalangan pemuda jika melupakan sepuluh paloe itu, mereka cenderung terbelah. Sesama eksponen muda, mulai ramai bertengkar sesama sendiri (dowok meupake sabe keu droe-droe). Contoh paling aktual adalah polarisasi kekuatan organisasi pemuda Islam seperti PII dan HMI (maaf), yang karena beda pemahaman dan sikap terhadap Pancasila (waktu Orde Baru) dan interest pribadi segelintir orang yang mau memaksakan kehendak, maka lahirlah kelompok penyelamat ideologi, kelompok konvensional, kelompok anti azas tunggal dsb, yang berujung pada hancurnya kiprah pemuda Islam secara umum, dalam kancah politik nasional dan lokal. Dualisme kepemimpinan Kahmi dan boleh jadi dalam kadar tertentu KB-PII sebagai misal, adalah konsekuensi logis dari pecahnya para pemuda yang menjadi cikal bakal pengurus Kahmi dan KB PII dikemudian hari. Di kalangan inong (perempuan) kecenderungan mempertanyakan sesuatu kepada suami pada saat yang tidak tepat, acapkali menimbulkan pertengkaran yang tidak perlu terjadi. Seperti hadih maja, “poloe inong ji teumanyeng watee woe lakoe”. Ketika akhir bulan atau suami sedang mengalami masalah, jangan pula ditambah dan diberondong dengan pertanyaan yang menyudi dan menyudutkan. Keangkuhan kelelakian (buruknya laki-laki) akan muncul dan sering berakibat buruk. Maka, jikapun ada yang perlu dibahas dan dipertanyakan sebagai bagian dari dinamika hubungan suami-isteri, hendaknya dipilih waktu dan tempat serta situasi yang kondusi untuk hal yang demikian.
Memperhatikan idioms, hadih maja Aceh, atau ungkapan simbol yang berasal dari kearifan lokal (local wisdom) itu terlihat masih relevan untuk dijadikan referensi bersikap dan bertindak dalam banyak hal. Kelompok strategis masyarakat, seperti raja, ulama, guru, tenetara, inong, partai, pemuda dll, adalah pemegang peran utama dalam suatu masyarakat.Perlu diingatkan kembali agar tidak jatuh ke dalam paloe, yang pada gilirannya dapat terjatuh kedalam paleh (jahat-celaka). Dalam masyarakat Aceh tradisional, kearifan itu pernah hidup. Di sinilah peranan Majelis Adat, Institusi dan Otoritas Pendidikan, Otoritas Kebudayaan, Organisasi para Ulama, dan para cerdik cendekia utamanya pemuka adat dan budayawan perlu melihat kembali sumber-sumber dan mengfungsikan kembali.
Penulis; Plt. Rektor Jabal Ghafur, dosen senior pada FKIP Unsyiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar