Sun, Jul 18th 2010, 08:58
Apresiasi
Panggung Syair Perahu di Subulussalam
LEBIH dari seratus siswa sekolah dasar, sekolah menengah, dan guru kesenian memanggungkan “Syair Perahu” dalam suatu pertunjukan musikalisasi puisi di pentas alun-alun Kota Subulussalam, Propinsi Aceh, Rabu, 7 Juli 2010, malam.
Pertunjukan itu merupakan hasil workshop delapan yang dipandu kelompok musikalisassi puisi Deavies Sanggar Matahari dari Jakarta. Walikota Subulussalam Merah Sakti memuji kegiatan tersebut sebagai bentuk meningkatkan apresiasi terhadap karya penyair besar Hamzah Fansyuri.
Di kota itulah Syekh Hamzah Fansyuri, pengarang “Syair Perahu” dimakamkan. Tepatnya di Desa Doboh, Kecamatan Rundeng. Makamnya terletak di tepi sungai Lae Souraya atau Krueng Singkil. Sungai itu berhulu di Aceh Tenggara, melintasi Subulussalam dan bermuara di laut Singkil. Itulah sungai terpanjang di Aceh.
“Syair Perahu” adalah salah satu karya terpenting Hamzah Fansyuri. Ditulis dalam bahasa Melayu pada abad ke 16. Prof A. Teeuw, pakar sastra Indonesia berkebangsaan Belanda, menyebut Fansyuri sebagai tokoh sastra Melayu modern. Alasannya, karya Fansyuri memiliki identitas pencipta yang jelas. Berbeda dengan sastra lama, pengarangnya anonim.Alasan lain, Fansyuri menciptakan bentuk puisi yang dipengaruh sastra Persia dan menyesuaikannya dengan budaya Melayu. Hamzah Fansyuri juga dinilai sangat kreatif memanfaatkan kata-kata Arab dan bahasa Quran dalam puisinya.
Penyair Rendra menyebut Hamzah Fansyuri sebagai “bapak sastra Melayu” karena telah berhasil mengangkat bahasa Melayu dari lingua farnsca (bahasa sehari-hari) menjadi bahasa sastra dan bahasa ilmu pengetahuan. Abdul Hadi WM memuji Fansyuri yang telah menciptakan kosa kata “syair” untuk karyanya.
‘Komunikasi lintas budaya’ itu terasa kuat saat “Syair Perahu” digarap dalam sebuah ‘musikalisasi puisi.’ Alunan suara koor yang penuh variasi teknik vokal, dan beragam pola melodi dari berbagai kebudayaan tampak hadir. Pada bagian akhir, terdengar pula serune kalee yang ditiup seniman Banda Aceh Teuku Iyass yang dipadu dengan pembacaan puisi dalam gelombang zikir. Pada frase tertentu, bunyi vokal terdengar menyentak aksentuatif, kemudian, pada bagian lain, alunan koor terasa lembut dan tenang. Sesekali, lantunan suara perempuan -yang khas dan unik- terdengar meliuk-liuk dengan irama dari tradisi Pakpak. Pelantunnya seorang perempuan. Suaranya khas dan unik. Pakpak adalah salah satu suku yang mendiami Subulussalam. Petikan “Syair Perahu” yang dibacakan dalam irama tradisi Pakpak itu berbunyi:
Munkar wa Nankir bukan kepalang
Suaranya merdu bertambah garang
Tongkatnya besar terlalu panjang
Cambuknya banyak tiada terbilang
Kenali dirimu hai anak dagang
Di balik papan tidur terlentang
Kelam dan dingin bukan kepalang
Dengan siapa lawan berbincang
Nuansa melankolis khas Melayu juga muncul dalam iringan tabuhan perkusi dan gitar. Bait ini dibawakan kelompok musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari;
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah I’tikad diperbetuli sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
…
Pada pertunjukan musikalisasi puisi “Syair Perahu” malam itu, puisi Fansyuri tampil dalam wujud yang lain. Wujud seni pertunjukan dalam format musikalisasi puisi yang ditonton hampir seribu pengunjung di alun-alun. Pemanggungan “Syair Perahu” tersebut merupakan bentuk alih wahana dari puisi sebagai teks menjadi sebuah pertunjukan panggung dalam bentuk musikalisasi puisi. Alih wahana, adalah perubahan dari satu jenis kesenian menjadi kesenian lain.
Ideologi pengalih-wahana-an “Syair Perahu” dari sebuah teks puisi menjadi karya musikasliasi puisi dan seni pertunjukan, adalah untuk kebutuhan apresiasi kandungan syair tersebut. Mengingat sebahagian besar siswa dan guru sekolah yang ambil bagian dalam perntujukan itu sama sekali tidak mengetahui persis isi “Syair Perahu.” Itu artinya, melaui pertunjukan tersebut, siswa dan guru sekolah di Subulussalam harus membaca kembali “Syair Perahu” yang mengumpamakan manusia sebagai perahu melayari samudra kehidupan.
Seluruh peserta workhsop sebelum pertunjukan melakukan ziarah ke makam Hamzah Fansyuri, sekitar 10 menit menyusur sungai dengan boat. Ziarah didampingi Wakil Walikota Subulussalam Alfian Bintang didampingi Kabag Humas Anharuddin. Sebuah ziarah untuk mengenang tokoh besar yang nyaris terlupakan.(fikar w.eda)
Pertunjukan itu merupakan hasil workshop delapan yang dipandu kelompok musikalisassi puisi Deavies Sanggar Matahari dari Jakarta. Walikota Subulussalam Merah Sakti memuji kegiatan tersebut sebagai bentuk meningkatkan apresiasi terhadap karya penyair besar Hamzah Fansyuri.
Di kota itulah Syekh Hamzah Fansyuri, pengarang “Syair Perahu” dimakamkan. Tepatnya di Desa Doboh, Kecamatan Rundeng. Makamnya terletak di tepi sungai Lae Souraya atau Krueng Singkil. Sungai itu berhulu di Aceh Tenggara, melintasi Subulussalam dan bermuara di laut Singkil. Itulah sungai terpanjang di Aceh.
“Syair Perahu” adalah salah satu karya terpenting Hamzah Fansyuri. Ditulis dalam bahasa Melayu pada abad ke 16. Prof A. Teeuw, pakar sastra Indonesia berkebangsaan Belanda, menyebut Fansyuri sebagai tokoh sastra Melayu modern. Alasannya, karya Fansyuri memiliki identitas pencipta yang jelas. Berbeda dengan sastra lama, pengarangnya anonim.Alasan lain, Fansyuri menciptakan bentuk puisi yang dipengaruh sastra Persia dan menyesuaikannya dengan budaya Melayu. Hamzah Fansyuri juga dinilai sangat kreatif memanfaatkan kata-kata Arab dan bahasa Quran dalam puisinya.
Penyair Rendra menyebut Hamzah Fansyuri sebagai “bapak sastra Melayu” karena telah berhasil mengangkat bahasa Melayu dari lingua farnsca (bahasa sehari-hari) menjadi bahasa sastra dan bahasa ilmu pengetahuan. Abdul Hadi WM memuji Fansyuri yang telah menciptakan kosa kata “syair” untuk karyanya.
‘Komunikasi lintas budaya’ itu terasa kuat saat “Syair Perahu” digarap dalam sebuah ‘musikalisasi puisi.’ Alunan suara koor yang penuh variasi teknik vokal, dan beragam pola melodi dari berbagai kebudayaan tampak hadir. Pada bagian akhir, terdengar pula serune kalee yang ditiup seniman Banda Aceh Teuku Iyass yang dipadu dengan pembacaan puisi dalam gelombang zikir. Pada frase tertentu, bunyi vokal terdengar menyentak aksentuatif, kemudian, pada bagian lain, alunan koor terasa lembut dan tenang. Sesekali, lantunan suara perempuan -yang khas dan unik- terdengar meliuk-liuk dengan irama dari tradisi Pakpak. Pelantunnya seorang perempuan. Suaranya khas dan unik. Pakpak adalah salah satu suku yang mendiami Subulussalam. Petikan “Syair Perahu” yang dibacakan dalam irama tradisi Pakpak itu berbunyi:
Munkar wa Nankir bukan kepalang
Suaranya merdu bertambah garang
Tongkatnya besar terlalu panjang
Cambuknya banyak tiada terbilang
Kenali dirimu hai anak dagang
Di balik papan tidur terlentang
Kelam dan dingin bukan kepalang
Dengan siapa lawan berbincang
Nuansa melankolis khas Melayu juga muncul dalam iringan tabuhan perkusi dan gitar. Bait ini dibawakan kelompok musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari;
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah I’tikad diperbetuli sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
…
Pada pertunjukan musikalisasi puisi “Syair Perahu” malam itu, puisi Fansyuri tampil dalam wujud yang lain. Wujud seni pertunjukan dalam format musikalisasi puisi yang ditonton hampir seribu pengunjung di alun-alun. Pemanggungan “Syair Perahu” tersebut merupakan bentuk alih wahana dari puisi sebagai teks menjadi sebuah pertunjukan panggung dalam bentuk musikalisasi puisi. Alih wahana, adalah perubahan dari satu jenis kesenian menjadi kesenian lain.
Ideologi pengalih-wahana-an “Syair Perahu” dari sebuah teks puisi menjadi karya musikasliasi puisi dan seni pertunjukan, adalah untuk kebutuhan apresiasi kandungan syair tersebut. Mengingat sebahagian besar siswa dan guru sekolah yang ambil bagian dalam perntujukan itu sama sekali tidak mengetahui persis isi “Syair Perahu.” Itu artinya, melaui pertunjukan tersebut, siswa dan guru sekolah di Subulussalam harus membaca kembali “Syair Perahu” yang mengumpamakan manusia sebagai perahu melayari samudra kehidupan.
Seluruh peserta workhsop sebelum pertunjukan melakukan ziarah ke makam Hamzah Fansyuri, sekitar 10 menit menyusur sungai dengan boat. Ziarah didampingi Wakil Walikota Subulussalam Alfian Bintang didampingi Kabag Humas Anharuddin. Sebuah ziarah untuk mengenang tokoh besar yang nyaris terlupakan.(fikar w.eda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar