Sun, Mar 7th 2010, 09:23
Karakteristik Hikayat Aceh
- HIKAYAT, jenis prosa sastra lama berbentuk berbait, bersajak, berirama (ciri hikayat Aceh). Di dalamnya mengandung berbagai masalah kehidupan, seperti pelajaran pelajaran tentang adat, keagamaan, roman roman duniawi, kemasyarakatan, dan lainnya. Hikayat juga bisa meliputi dongeng dongeng, legenda, mitos, sage, maupun fabel.
Hikayat sejak zaman dulu sudah dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Mulanya hikayat dimainkan dalam bentuk lisan yang ditutur oleh ahli (pawang). Namun setelah berkembangnya sastra tulis, hikayat mulai dituliskan, sama seperti jenis sastra lainnya di nusantara. Terutama dimulai saat masuknya Islam pertama ke Aceh sekitar abad ke 8 Masehi.
Hikayat Aceh berbeda dengan hikayat Melayu/Indonesia. Jika hikayat Melayu ditulis dalam bentuk prosa bernarasi, hikayat Aceh, kendati juga tergolong ke dalam bentuk prosa, ia ditulis berbait, bersajak, dan mengikuti rima, serta menggunakan bahasa Aceh. Namun, jika dilihat naskah aslinya pada zaman dahulu, hikayat Aceh ditulis dalam bahasa Jawoe (Arab Melayu).
Beda lainnya, hikayat Aceh adalah menurut zaman dan menurut irama yang dibawakan oleh >tukang hikayat=. Hikayat Aceh pada zaman lama (dahulu) secara umum, antara lain bercirikan mukaddimah dimulai dengan basmalah, diiringi pujia pujian kepada Allah, salawat kepada rasul. Biasanya, mukaddimah ini diisi pula dengan sifat sifat Allah dan tugas tugas rasulullah saw.
Tokoh cerita dalam hikayat lama juga digambarkan sebagai orang yang taat kepada Allah, berakhlak tinggi, berhati budiman, berwatak pahlawan, berpendidikan sempurna, antaranya dinyatakan sejak kecil sudah mampu menghafal Alquran, mempelajari ilmu ilmu agama, ilmu hikmat, ilmu firasat, ilmu mantra, dan ilmu pemerintahan. Hal ini boleh dilihat semisal pada tokoh Malem Diwa. Jika tokoh dimaksud adalah seorang lelaki, ia digambarkan berwajah tampan dan gagah, pun berkulit bersih. Jika tokoh itu perempuan, digambarkan sebagai sosok putri cantik dan biasanya berambut panjang.
Dalam kisahnya, pada hikayat lama cenderung terjadi antara remaja atau pembesar istana. Hasil karya pada zaman ini masih dianggap sebagai milik masyarakat karena tidak tercantum nama penulis (anonimious).
Zaman baru
Sedikit memiliki perbedaan dengan zaman lama, hikayat di zaman baru cenderung diawali langsung dengan kata basmalah, juga puji pujian kepada Allah, kadang tersebut sifat Allah, salawat kepada rasul dan sedikit pembukaan tentang alam semesta. Namun, terkadang langsung pada isi cerita yang hendak disampaikan.
Tokoh utama dalam hikayat baru digambarkan sebagai manusia yang taat kepada Allah dan berakhlak tinggi. Namun, adakalanya digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki sifat terpuji. Dari sini kemudian muncul tokoh yang disebut sebagai antagonis, protagonis, dan tetragonis. Topik pembicaraan tidak lagi terfokus pada perebutan putri cantik, melaikan kisah kehidupan sehari hari sehingga kisah cinta (jika ada) yang terdapat pada hikayat zaman baru (modern) mulai meliputi masyarakat umum, baik kalangan atas maupun kalangan bawah. Adapun hasil karya dianggap sebagai milik individu, karena sudah ada nama pengarangnya.
Tercatat pula beberapa irama hikayat yang ada di Aceh yang didasarkan pada si pembaca (pelantun) hikayat. Saat ini ada dua irama yang terkenal, yaitu dangderia dan irama PMTOH. Irama hikayat dangderia disebut sebut melantun perlahan, mengikuti irama alam semisal hempasan gelombang dan deru angin. Irama ini diciptakan oleh Mak Lapeh, seorang tukang hikayat dari Bakongan Aceh Selatan.
Sedangkan irama PMTOH, penuturannya terdengar lebih cepat yang dipopulerkan oleh Tgk. H. Adnan (alm). Lakab PMTOH sendiri muncul dari kisah almarhum saat berhikayat dari kampung ke kampung yang menggunakan bus lintas Sumatera PMTOH. Inilah kemudian disebut irama hikayat PMTOH.
* Penulis Herman RN, penyuka sastra, bergiat di Gemasastrin dan Teater Nol Unsyiah
Hikayat sejak zaman dulu sudah dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Mulanya hikayat dimainkan dalam bentuk lisan yang ditutur oleh ahli (pawang). Namun setelah berkembangnya sastra tulis, hikayat mulai dituliskan, sama seperti jenis sastra lainnya di nusantara. Terutama dimulai saat masuknya Islam pertama ke Aceh sekitar abad ke 8 Masehi.
Hikayat Aceh berbeda dengan hikayat Melayu/Indonesia. Jika hikayat Melayu ditulis dalam bentuk prosa bernarasi, hikayat Aceh, kendati juga tergolong ke dalam bentuk prosa, ia ditulis berbait, bersajak, dan mengikuti rima, serta menggunakan bahasa Aceh. Namun, jika dilihat naskah aslinya pada zaman dahulu, hikayat Aceh ditulis dalam bahasa Jawoe (Arab Melayu).
Beda lainnya, hikayat Aceh adalah menurut zaman dan menurut irama yang dibawakan oleh >tukang hikayat=. Hikayat Aceh pada zaman lama (dahulu) secara umum, antara lain bercirikan mukaddimah dimulai dengan basmalah, diiringi pujia pujian kepada Allah, salawat kepada rasul. Biasanya, mukaddimah ini diisi pula dengan sifat sifat Allah dan tugas tugas rasulullah saw.
Tokoh cerita dalam hikayat lama juga digambarkan sebagai orang yang taat kepada Allah, berakhlak tinggi, berhati budiman, berwatak pahlawan, berpendidikan sempurna, antaranya dinyatakan sejak kecil sudah mampu menghafal Alquran, mempelajari ilmu ilmu agama, ilmu hikmat, ilmu firasat, ilmu mantra, dan ilmu pemerintahan. Hal ini boleh dilihat semisal pada tokoh Malem Diwa. Jika tokoh dimaksud adalah seorang lelaki, ia digambarkan berwajah tampan dan gagah, pun berkulit bersih. Jika tokoh itu perempuan, digambarkan sebagai sosok putri cantik dan biasanya berambut panjang.
Dalam kisahnya, pada hikayat lama cenderung terjadi antara remaja atau pembesar istana. Hasil karya pada zaman ini masih dianggap sebagai milik masyarakat karena tidak tercantum nama penulis (anonimious).
Zaman baru
Sedikit memiliki perbedaan dengan zaman lama, hikayat di zaman baru cenderung diawali langsung dengan kata basmalah, juga puji pujian kepada Allah, kadang tersebut sifat Allah, salawat kepada rasul dan sedikit pembukaan tentang alam semesta. Namun, terkadang langsung pada isi cerita yang hendak disampaikan.
Tokoh utama dalam hikayat baru digambarkan sebagai manusia yang taat kepada Allah dan berakhlak tinggi. Namun, adakalanya digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki sifat terpuji. Dari sini kemudian muncul tokoh yang disebut sebagai antagonis, protagonis, dan tetragonis. Topik pembicaraan tidak lagi terfokus pada perebutan putri cantik, melaikan kisah kehidupan sehari hari sehingga kisah cinta (jika ada) yang terdapat pada hikayat zaman baru (modern) mulai meliputi masyarakat umum, baik kalangan atas maupun kalangan bawah. Adapun hasil karya dianggap sebagai milik individu, karena sudah ada nama pengarangnya.
Tercatat pula beberapa irama hikayat yang ada di Aceh yang didasarkan pada si pembaca (pelantun) hikayat. Saat ini ada dua irama yang terkenal, yaitu dangderia dan irama PMTOH. Irama hikayat dangderia disebut sebut melantun perlahan, mengikuti irama alam semisal hempasan gelombang dan deru angin. Irama ini diciptakan oleh Mak Lapeh, seorang tukang hikayat dari Bakongan Aceh Selatan.
Sedangkan irama PMTOH, penuturannya terdengar lebih cepat yang dipopulerkan oleh Tgk. H. Adnan (alm). Lakab PMTOH sendiri muncul dari kisah almarhum saat berhikayat dari kampung ke kampung yang menggunakan bus lintas Sumatera PMTOH. Inilah kemudian disebut irama hikayat PMTOH.
* Penulis Herman RN, penyuka sastra, bergiat di Gemasastrin dan Teater Nol Unsyiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar