Sun, May 9th 2010, 08:15
Apresiasi
Hamzah Fanshury; Penyair ”Sufi”
APAKAH keistimewaan puisi Fanshury? Pakar linguistik dan sastra A. Teeuw, memberi tiga argumen. Pertama, sisi individualitas, puisi Fanshury tidak anonim seperti biasa yang terjadi dalam sastra Melayu lama. Tidak hanya dalam satu kolofon (prakata atau prolog) atau pascakata (epilog), tetapi bahkan dalam teks dalam puisinya sendiri ia mempadukan namanya dan kepribadiannya dalam sebuah puisi. Maka itu Fanshury ikon era baru dalam sastra Melayu (baca: Indonesia). Sebagai ungkapan seorang individu yang memanifestasikan kepribadiannya secara sadar dalam bentuk puisi. Inilah justru ciri khas kemodernan, dimana hal yang sama juga terjadi dalam sejarah sastra Eropa. Seakan-akan ia menonjolkan hak ciptanya secara eksplisit.
Kedua, Fanshury menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya dengan mengambil alih (transformasi sebagian) model sastra Parsi kemudian menyesuaikannya dengan syair Melayu. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam perkembangan puisi Indonesia abad ke-20. Misalnya dengan penciptaan Soneta oleh penyair angkatan tahun 1920-an dan 1930-an. Disusul kemudian Chairil Anwar yang memperbaharui pola puisi Indonesia dengan penciptaan sajak bebas, tanpa aturan mengenai jumlah larik perbait atau struktur larik atau bait itu sendiri. Demikian juga penyair lain seperti Marah Rusli dan Nur St. Iskandar yang menciptakan roman sebagai jenis sastra baru dalam sejarah sastra Indonesia, untuk menggantikan jenis hikayat atau kaba yang sianggap tidak sesuai lagi sebagaisarana ekspresi kesusastraan.
Ketiga, pemakaian bahasa yang sangat kreatif, seperti kata-kata Arab yang sangat menonjol dalam puisinya. Ini memberi warna lain—bahwa puisi tidak saja untuk dinikmati dengan melibatkan emosi semata, melainkan juga harus berpikir sekaligus. Menikmati puisi Fanshury membutuhkan pengetahuan luas di bidang bahasa dan kebudayaan Arab-Parsi, termasuk pengetahuan tentang agama Islam, khususnya aspek tasawuf. Tanpa ini maka puisi Fanshury tak terpahami, seperti halnya membaca puisi Chairil Anwar yang kerap memakai ungkapan berbahsa bahasa Inggeris.
Kekayaan daya pikir dan luasnya pengetahuan yang diperlukan itu bukanlah tanda kelemahan puisi Fanshury. Sebab, umumnya puisi besar dimana-mana memerlukan daya pikir dan pengetahuan luas pada pihak pembaca, di samping kepekaan bahasa, penghayatan kebudayaan yang kuat dan keterlibatan emosional. Namun harus diingat bahwa puisi bukanlah filsafat, mistisme atau teologi. Sebuah puisi tetaplah sebagai puisi. Di samping daya pikir dan makna budaya, juga diharapkan darinya diksi yang khas, kekayaan dan orisionalitas ungkapan, metafora, dan kreativitas bunyi. Singkatnya, semua yang menjelmakan sebuah karya sebagai puisi menurut konvensinya. Menurut Teeuw, dalam semua konvensi inipun Fanshury sanggup memenuhinya, seperti karyanya yang individual, modern, kaya kreativitas dan inventivitas bahasa yang digunakan. Seperti dalam cuplikan syair Fanshury berikut.
Huwa al-awwalu wa al-akhiru akan namanya
Wa al-zahiru wa al-bathinu rupanya (QS.57:3)
Sidang ‘arif mendapat katanya
Mabuk dan gila barang adanya
Wama ramaita dengankan firman
Aku baginda rasul habib al-Mannan
Walakinna Allahu rama tiada insan (QS.8:17)
Nasihat al-‘arifin di sini ‘iyan
Sabda ‘Ali yang mahatahu
La a‘budu rabban arahu
Wama ra-aytu syai-an, lama dan baharu
Illa ra-aytu Allaha fihi aku
Wa Allahu khalaqakum dengarkan kata
Wama ta‘maluna inilah nyata (QS.37:96)
Bikulli syai’in muhitun di mata-mata (QS.42:54)
Kalam al-‘asyiqin sedikitpun pada
Begitu jelas Fanshury berhasil mengintegrasikan teks-teks suci (Alauran) yang berwibawa penuh ke dalam struktur bait syair. Adakalanya dengan memakai kata rima Melayu, dan adakalanya dengan kata Arab. Dengan demikian penghayatan ajaran Islam dalam bentuk tasawuf yang dianutnya mendapat pencerahan yang sangat tepat. Sekaligus ia menciptakan sebuah bentuk puisi Melayu yang mungkin sangat mengejutkan bagi orang yang membaca dan mendengarkan untuk pertama kali, tetapi sekaligus mempesona. Sistemnya juga lain daripada yang biasa dalam tradisi pemindahan teks keagamaan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuno dan Bali atau darai Arab ke Melayu atau Jawa, yang biasnya merupakan terjemahan kata demi kata atau frasa demi frasa, ataupun terjemahan yang disebut interlinier, antarlirik, tanpa nilai kesusastraan.
Puisi Fanshury juga kuat dari segi metaforis (pemajasan) atau imagery. Menurut Teeuw, majas-majas ini tidak semuanya baru; Fanshury memanfaatkan kekayaan pemajasan puisi sufi sebagaimana berangsur-angsur berkembang dan mencapai puncaknya dalam karya Ibnu ‘Araby, Jalaluddin Rumi dan ‘Umar Khayyam, tiga penyair yang termasyhur di dunia belahan dunia Timur. sebuah alegori yang terkenal yang juga disyairkan oleh Fanshury , misalnya Thayr al-Aryan (burung yang telanjang) sebagai simbol tahap kesempurnaan yang telah dicapai oleh seorang sufi (syair XXIV dan XXV). Majas yang juga sering dipakai adalah lautan yang tak terduga dalamnya sebagai lambang status seorang thalib yang telah mencapai kesatuan dengan Tuhan, misalnya syair XXIX yang dikutip Teeuw dua baris berikut ini.
//Jika terkenal dirimu bapai/ Engkaulah laut yang tak berbagai/ Ombak dan laut tidak bercerai/ Musyahadahmu sana jangan kau lalai/ Mutu qabla an tamutu/ Pada La ilaha illa hu/ Laut dan ombak sedia satu/ Itulah ‘arif da‘im bertemu//
Akhirnya, satu hal yang sudah jelas adalah pemakaian bahasa kesustraan yang dapat diamati dalam karya syairnya telah membenarkan penyair abad ke-16 ini menerima gelar ”sang pemula puisiIndonesia”. Jauh sebelum adanya Indonesia, Fanshury telah merintis jalan untuk menciptakan seni individual dan inovatif yang kemudian akan dianggap sebagai ciri khas kemodernan dan perkembangan seni umumnya, seni sastra khususnya di Indonesia. Sejatinya ilmuan Aceh lebih mampu merambah aspek-aspek yang tidak mampu digapai peneliti asing. Maka saatnya kita mengambil posisi ini guna mengangkat lebih dekat khazanah Aceh sendiri.
* MUHIBUDIN HANAFIAH; dosen Ilmu Pendidikan dan peminat sosial-budaya Aceh
Kedua, Fanshury menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya dengan mengambil alih (transformasi sebagian) model sastra Parsi kemudian menyesuaikannya dengan syair Melayu. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam perkembangan puisi Indonesia abad ke-20. Misalnya dengan penciptaan Soneta oleh penyair angkatan tahun 1920-an dan 1930-an. Disusul kemudian Chairil Anwar yang memperbaharui pola puisi Indonesia dengan penciptaan sajak bebas, tanpa aturan mengenai jumlah larik perbait atau struktur larik atau bait itu sendiri. Demikian juga penyair lain seperti Marah Rusli dan Nur St. Iskandar yang menciptakan roman sebagai jenis sastra baru dalam sejarah sastra Indonesia, untuk menggantikan jenis hikayat atau kaba yang sianggap tidak sesuai lagi sebagaisarana ekspresi kesusastraan.
Ketiga, pemakaian bahasa yang sangat kreatif, seperti kata-kata Arab yang sangat menonjol dalam puisinya. Ini memberi warna lain—bahwa puisi tidak saja untuk dinikmati dengan melibatkan emosi semata, melainkan juga harus berpikir sekaligus. Menikmati puisi Fanshury membutuhkan pengetahuan luas di bidang bahasa dan kebudayaan Arab-Parsi, termasuk pengetahuan tentang agama Islam, khususnya aspek tasawuf. Tanpa ini maka puisi Fanshury tak terpahami, seperti halnya membaca puisi Chairil Anwar yang kerap memakai ungkapan berbahsa bahasa Inggeris.
Kekayaan daya pikir dan luasnya pengetahuan yang diperlukan itu bukanlah tanda kelemahan puisi Fanshury. Sebab, umumnya puisi besar dimana-mana memerlukan daya pikir dan pengetahuan luas pada pihak pembaca, di samping kepekaan bahasa, penghayatan kebudayaan yang kuat dan keterlibatan emosional. Namun harus diingat bahwa puisi bukanlah filsafat, mistisme atau teologi. Sebuah puisi tetaplah sebagai puisi. Di samping daya pikir dan makna budaya, juga diharapkan darinya diksi yang khas, kekayaan dan orisionalitas ungkapan, metafora, dan kreativitas bunyi. Singkatnya, semua yang menjelmakan sebuah karya sebagai puisi menurut konvensinya. Menurut Teeuw, dalam semua konvensi inipun Fanshury sanggup memenuhinya, seperti karyanya yang individual, modern, kaya kreativitas dan inventivitas bahasa yang digunakan. Seperti dalam cuplikan syair Fanshury berikut.
Huwa al-awwalu wa al-akhiru akan namanya
Wa al-zahiru wa al-bathinu rupanya (QS.57:3)
Sidang ‘arif mendapat katanya
Mabuk dan gila barang adanya
Wama ramaita dengankan firman
Aku baginda rasul habib al-Mannan
Walakinna Allahu rama tiada insan (QS.8:17)
Nasihat al-‘arifin di sini ‘iyan
Sabda ‘Ali yang mahatahu
La a‘budu rabban arahu
Wama ra-aytu syai-an, lama dan baharu
Illa ra-aytu Allaha fihi aku
Wa Allahu khalaqakum dengarkan kata
Wama ta‘maluna inilah nyata (QS.37:96)
Bikulli syai’in muhitun di mata-mata (QS.42:54)
Kalam al-‘asyiqin sedikitpun pada
Begitu jelas Fanshury berhasil mengintegrasikan teks-teks suci (Alauran) yang berwibawa penuh ke dalam struktur bait syair. Adakalanya dengan memakai kata rima Melayu, dan adakalanya dengan kata Arab. Dengan demikian penghayatan ajaran Islam dalam bentuk tasawuf yang dianutnya mendapat pencerahan yang sangat tepat. Sekaligus ia menciptakan sebuah bentuk puisi Melayu yang mungkin sangat mengejutkan bagi orang yang membaca dan mendengarkan untuk pertama kali, tetapi sekaligus mempesona. Sistemnya juga lain daripada yang biasa dalam tradisi pemindahan teks keagamaan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuno dan Bali atau darai Arab ke Melayu atau Jawa, yang biasnya merupakan terjemahan kata demi kata atau frasa demi frasa, ataupun terjemahan yang disebut interlinier, antarlirik, tanpa nilai kesusastraan.
Puisi Fanshury juga kuat dari segi metaforis (pemajasan) atau imagery. Menurut Teeuw, majas-majas ini tidak semuanya baru; Fanshury memanfaatkan kekayaan pemajasan puisi sufi sebagaimana berangsur-angsur berkembang dan mencapai puncaknya dalam karya Ibnu ‘Araby, Jalaluddin Rumi dan ‘Umar Khayyam, tiga penyair yang termasyhur di dunia belahan dunia Timur. sebuah alegori yang terkenal yang juga disyairkan oleh Fanshury , misalnya Thayr al-Aryan (burung yang telanjang) sebagai simbol tahap kesempurnaan yang telah dicapai oleh seorang sufi (syair XXIV dan XXV). Majas yang juga sering dipakai adalah lautan yang tak terduga dalamnya sebagai lambang status seorang thalib yang telah mencapai kesatuan dengan Tuhan, misalnya syair XXIX yang dikutip Teeuw dua baris berikut ini.
//Jika terkenal dirimu bapai/ Engkaulah laut yang tak berbagai/ Ombak dan laut tidak bercerai/ Musyahadahmu sana jangan kau lalai/ Mutu qabla an tamutu/ Pada La ilaha illa hu/ Laut dan ombak sedia satu/ Itulah ‘arif da‘im bertemu//
Akhirnya, satu hal yang sudah jelas adalah pemakaian bahasa kesustraan yang dapat diamati dalam karya syairnya telah membenarkan penyair abad ke-16 ini menerima gelar ”sang pemula puisiIndonesia”. Jauh sebelum adanya Indonesia, Fanshury telah merintis jalan untuk menciptakan seni individual dan inovatif yang kemudian akan dianggap sebagai ciri khas kemodernan dan perkembangan seni umumnya, seni sastra khususnya di Indonesia. Sejatinya ilmuan Aceh lebih mampu merambah aspek-aspek yang tidak mampu digapai peneliti asing. Maka saatnya kita mengambil posisi ini guna mengangkat lebih dekat khazanah Aceh sendiri.
* MUHIBUDIN HANAFIAH; dosen Ilmu Pendidikan dan peminat sosial-budaya Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar